Sejarah Kebaya

Thursday, February 21, 2013




Sepintas Mengenal Tentang Kebaya dan Sejarahnya
            Kebaya merupakan jenis busana yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah. Biasanya disertai kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan. Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Baju Kebaya adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan Malaysia yang dibuat dari kain kasa yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian tradisional yang lain seperti songket dengan motif warna-warni. Asal kata kebaya berasal dari kata arab abaya yang berarti pakaian. Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat (http://ms.wikipedia.org/wiki/Baju_kebaya, diakses Rabu, 26 September 2012). Sebelum 1600, di Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang hanya dikenakan keluarga kerajaan di sana. Selama masa kendali Belanda di pulau itu, wanita-wanita Eropa mulai mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi. Selama masa ini, kebaya diubah dari hanya menggunakan barang tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni.

Kebaya Khas Jawa Tengah
            Kebaya merupakan busana tradisional yang umumnya telah dikenal di seluruh Indonesia, namun kebaya lebih identik dipakai oleh wanita-wanita Jawa. Model dan jenis kebaya nya pun berbeda disetiap daerah yang tersebar diseluruh wilayah Jawa. Jawa Tengah memiliki model kebaya tersendiri, kebaya yang biasa dipakai wanita jawa tengah biasanya model kebaya Solo/ Surakarta. Solo merupakan daerah yang dikenal sebagai wilayah keraton dan kerajaan yang masih kental dengan nuansa-nuansa kerajaan. Kebaya khas jawa tengah pada umumnya adalah kebaya yang terbuat dari kain beludru hitam, brokat, atau nilon. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Kebaya panjang kebanyakan terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.
Kebaya model R.A Kartini juga termasuk dalam kebaya khas Jawa Tengah. Kebaya R.A Kartini ini merupakan kebaya yang masih sangat menganut adat-istiadat orang Jawa. Kebayanya dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun atau brokat yang berbunga atau bersulam, menggunakan stagen sebagai ikat pinggang. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung (kuthubaru).

Filosofi Kebaya
            Bagi seorang wanita Jawa, kebaya bukan hanya sebagai sebatas pakaian. Lebih dari itu kebaya juga menyimpan sebuah filosofi tersendiri. Sebuah filosofi yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Keberadaan kebaya di Indonesia bukan hanya sebagai menjadi salah satu jenis pakaian. Kebaya memiliki makna dan fungsi lebih dari itu. Bentuknya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhaan dari masyarakat Indonesia. Nilai filosofi dari kebaya adalah kepatuhan, kehalusan, dan tindak tanduk wanita yang harus serba lembut. Kebaya selalu identik dipasangkan dengan jarik atau kain yang membebat tubuh. Kain yang membebat tubuh tersebut secara langsung akan membuat siapapun wanita yang mengenakannya kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Itulah sebabnya mengapa wanita Jawa selalu identik dengan pribadi yang lemah gemulai.
Menggenakan kebaya akan membuat wanita yang mengenakannya berubah menjadi seorang wanita yang anggun dan mempunyai kepribadian. Potongan kebaya yang mengikuti bentuk tubuh mau tidak mau akan membuat wanita tersebut harus bisa menyesuaikan dan menjaga diri. Setagen  yang berfungsi sebagai ikat pinggang, bentuknya tak ubah seperti kain panjang yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Namun justru dari bentuknya yang panjang itulah nilai-nilai filosofi luhur ditanamkan, merupakan symbol agar bersabar/jadilah manusia yang sabar, erat kaitannya dengan peribahasa jawa “dowo ususe” atau panjang ususnya yang berarti sabar.

Sekilas Tentang Kain Batik dan Sejarahnya
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com). Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja. Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut berkaitan dengan suatu harapan.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Batik Motif Khas Jawa Tengah (Solo & Yogyakarta)
            Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
            Motif-motif batik Yogya-Solo dan filosofinya antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Truntum/trutul
Motif ini melambangkan cinta yang bersemi kembali. Dalam pemakaianya motif ini melambangkan orang tua yang menuntun anaknya dalam upacara pernikahan sebagai pintu menjalankan kehidupan baru yaitu kehidupan rumah tangga yang sarat godaan. Diharapkan motif ini akan menjadikan kehidupan pernikahan menjadi langgeng diwarnai kasih sayang yang selalu bersemi. Kegunaan batik Truntum/trutul: Untuk orang tua pengantin pada waktu upacara panggih. Filosofi batik Truntum: Truntum berarti menuntun, sebagai orang tua berkewajiban menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru atau berumah tangga yang banyak liku-likunya.
2.      Wahyu Tumurun
Filosofi Wahyu Tumurun : Wahyu berarti anugerah, temurun berarti turun, dengan menggunakan kain ini diharapkan mendapatkan anugerah dari yang Maha Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta mendapat petunjukNya.
3.      Sido Luhur
Motif Sida Luhur (dibaca Sido Luhur) bermakna harapan untuk mencapai kedudukan yang tinggi, dan dapat menjadi panutan masyarakat. Bagi orang Jawa, hidup memang untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat, maupun profesinya. Sementara keluhuran budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Orang yang bisa dipercaya oleh orang lain, atau perkataannya sangat bermanfaat kepada orang lain tentu itu akan lebih baik daripada perkataannya tidak bisa dipegang orang lain dan tidak dipercaya orang lain. Orang yang sudah bisa dipercaya oleh orang lain adalah suatu bentuk keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran.
4.      Sido Mukti
Motif-motif berawalan sida (dibaca sido) merupakan golongan motif yang banyak dibuat para pembatik. Kata “sida” sendiri berarti jadi/ menjadi/terlaksana. Dengan demikian, motif-motif berawalan “sida” mengandung harapan agar apa yang diinginkan bisa tercapai. Salah satunya adalah sida mukti, yang mengandung harapan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
5.      Buntal
Filosofi batik dengan motif buntal adalah semangat persatuan dan kesatuan. Karena dahulu merupakan jaman perang melawan penjajah, pesan yang ingin disampaikan dalam motif ini adalah kuatkan barisan jangan sampai tercerai berai. Selalu komunikasi antar kelompok satu dengan yang lainnya.

6.      Parang Barong
Ada juga yang memaknai  bahwa motif batik ini berasal dari kata “batu karang” dan “barong” (singa). Parang Barong merupakan parang yang paling besar dan agung, dan karena kesakralan filosofinya motif ini hanya boleh digunakan untuk Raja, terutama dikenakan pada saat ritual keagamaan dan meditasi. Ada juga yang memaknai bahwa parang berasal dari senjata seperti golok panjang.
Kata barong berarti sesuatu yang besar, dan ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Motif Parang Rusak Barong ini merupakan induk dari semua motif parang. Motif ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri. Motif ini diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta.
7.      Parang Rusak
Selain parang barong, jenis motif parang lainnya adalah Parang Rusak. Motif ini hanya digunakan oleh para bangsawan pada masa dahulu untuk upacara-upacara kenegaraan di lingkungan kraton. Motif ini sampai sekarang masih tetap terjaga. Pada jaman dahulu, Parang Rusak biasanya digunakan prajurit setelah perang, untuk memberitahu Raja bahwa mereka telah memenangkan peperangan. Menurut Koeswadji, sesuai dengan arti kata, Parang Rusak mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala yang rusak, atau melawan segala macam godaan. Motif ini mengajarkan agar sebagai manusia mempunyai watak dan perilaku yang berbudi luhur sehingga dapat mengendalikan segala godaan dan nafsu.

2 comments:

Kamus Melankolis said...

Setuju mba.. karena kebaya memang memberikan kesan feminim juga.
tapi jangan lupa update terus mengenai perkembangan kebayanya mba..
salam blogger
jangan lupa kunjungi balik http://revisites.blogspot.com

Kamus Melankolis said...

Setuju mba.. karena kebaya memang memberikan kesan feminim juga.
tapi jangan lupa update terus mengenai perkembangan kebayanya mba..
salam blogger
jangan lupa kunjungi balik http://revisites.blogspot.com

Post a Comment